Skenario Pertemanan Optimis

Hari itu hujan turun dengan deras.

bokeh-drops-of-water-rain-8486.jpg
Source: https://www.pexels.com/photo/water-rain-raindrops-drops-of-water-8486/

Seperti hari-hari lainnya ketika kota Jakarta diguyur hujan, orang-orang mulai sibuk memikirkan bagaimana cara mereka pulang. Bagi yang rumahnya jauh, mungkin mereka akan mengkhawatirkan jalanan yang ramai. Bagi yang rumahnya dekat dengan kantor sekalipun, hujan bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

Maka dari itu, ada banyak sekali yang biasanya dikatakan orang setiap kali hujan turun saat menjelang jam bubaran kantor. Seperti:

“Aduh, macet gak ya?”

“Jangan sampai banjir, deh.”

“Gimana caranya gue pulang ya?”

Dan semacamnya. Dan sebagainya. Dan seterusnya.

Anggap saja beberapa kalimat itu sebagai testimoni akurat yang didapatkan setelah bertahun-tahun observasi dan wawancara kasual—yang sebenarnya tidak salah juga, karena ada sedikit unsur pengalaman pribadi yang disuntikkan di sini, meski bukan dengan tujuan mendoktrin siapa-siapa.

Tapi pada intinya, hanya ada satu hal yang bisa dirangkum dari ucapan semua penduduk kota yang harus pulang dari kantor pada hari itu (dan hari-hari sebelumnya, sesudahnya, sepanjang waktu….)

Hal yang disimpulkan itu adalah ini: keluhan.

cars-city-dark-119569.jpg
Source: https://www.pexels.com/photo/black-posts-on-black-pavement-beneath-falling-rain-119569/

Juga merupakan sesuatu yang sangat wajar ketika, pada malam hari yang diguyur hujan deras, kita bisa menemukan antrean taksi yang lumayan panjang di pelataran lobi mall raksasa Grand Indonesia.

Mereka sama sekali tidak saling mengenal. Ibu yang berdiri di paling depan barisan, misalnya. Saudara jauhnya baru saja meninggal di hari yang sama, sehingga dia merasa begitu bersalah karena tidak bisa datang memberikan belasungkawa. Beliau memutuskan untuk datang ke mal ini dengan harapan bisa menemukan taksi yang akan dengan cepat mengantarnya ke rumah saudaranya itu, tapi dia masih menunggu.

Dua laki-laki di belakangnya juga menunggu kendaraan yang sama. Mereka mengenakan pakaian yang sangat tebal untuk dikenakan di Jakarta yang cenderung panas, tapi anehnya tidak ada orang yang mengomentari mereka. Mungkin karena memang empati orang pusat kota lebih rendah daripada di pinggiran kota, atau mungkin karena kedua orang itu jelas-jelas berkulit putih dan bermata biru (berbeda dari orang Indonesia, pikir si ibu yang pertama), atau mungkin karena mereka menyadari tangan kedua lelaki itu yang terkait erat di balik beberapa kantung belanja. Tapi ya, mereka juga menunggu.

Atau orang di belakangnya—pria tua dengan setelan jas yang membawa banyak sekali belanjaan itu. Sebenarnya dia tidak berpenghasilan semewah penampilannya. Malahan bisa dibilang jas itu adalah pakaian bagus satu-satunya yang dihadiahkan oleh Pak Joseph—atasannya yang selalu membagi-bagi pakaian kepada karyawannya. Dia sebenarnya tidak menyukai pakaian itu. Rasanya gerah dan terlalu mahal. Lebih enak mengenakan kaos polo warna biru favorit nya untuk bekerja. Tapi dia tidak punya pilihan. Pak Joseph bisa marah kalau mendapati dirinya tidak mengenakan pakaian yang beliau berikan. Sekarang pun, sebenarnya dia bisa langsung pulang naik motor kesayangannya seandainya dia tidak takut merusak jas pemberian atasannya itu. Tidak praktis, memang, tapi begitulah, dia juga masih menunggu.

Pemuda yang berdiri di belakangnya memasang headset dan tampak tidak peduli dengan apa-apa. Tidak ketika ibu yang berada di paling depan protes karena taksi berikutnya masih tidak kunjung datang juga. Tidak ketika dia melihat kedua pemuda di belakang ibu itu mencuri satu atau dua ciuman selagi kebanyakan orang tidak melihat (atau pura-pura tidak melihat). Tidak juga ketika bapak tua di depannya menelepon ke rumah sambil berusaha menenangkan istrinya yang terus menanyakan mengapa beliau belum juga pulang. Sekilas pemuda itu memang terkesan sangat apatis dan tidak menunjukkan emosi apa-apa, tapi ada cerita di balik kebisuannya itu. Dan, seperti keempat orang di depannya, dia juga masih menunggu.

Pemuda itu adalah orang terakhir yang berdiri di antrean taksi tersebut. Setengah jam yang lalu, antrean itu masih tiga kali lipat panjangnya, tetapi sekarang hanya mereka berlima yang tersisa. Begitu lama mereka dipaksa menunggu, namun taksi tidak kunjung datang juga. Hal ini menyebabkan si ibu paling depan mengeluh dengan suara keras, pasangan di belakangnya bermesraan dengan sembunyi sembunyi, pria di belakangnya dimarahi oleh istrinya, dan pemuda yang terakhir menaikkan volume suara musiknya.

abstract-bright-colorful-268941.jpg
Source: https://www.pexels.com/photo/abstract-bright-colorful-cover-268941/

Normalnya, di sinilah kisah ini berakhir. Mereka akan melanjutkan apa yang tengah mereka lakukan saat itu sampai taksi datang, kemudian berjalan menuju arah pulang yang berbeda-beda tanpa sekalipun mengingat akan pertemuan yang janggal ini. Akan tetapi malam ini sedikit berbeda. Entah karena semesta bekerja dengan kekuatan gabisa untuk mengubah kebetulan menjadi kemujuran, ataukah memang tanpa takdir yang mengikat kelima orang ini bersama, mereka dipaksa berada di sana, menunggu datangnya taksi, selama empat puluh lima menit.

Tiga perempat jam.

Itu adalah waktu yang cukup untuk membuat ibu di urutan pertama merasakan kantung kemihnya hampir meledak. Dalam hati dia mengutuk keputusan bodohnya untuk meminum begitu banyak jus buah tadi sebelum mengantre. Sebenarnya, jika dia berada di urutan kedua atau ketiga, dia bisa saja berbalik arah dan berjalan menuju toilet, tetapi karena dia berada di paling depan barusan, ibu itu menolak untuk mengulangi proses antrean lagi. Baginya momen ini krusial. Jika dia menyerah sekarang, maka pasangan—yang menurutnya—sakit jiwa di belakangnya akan mendapatkan taksi duluan. Dia tidak mau itu. Dia tidak mengantre di sini selama dua jam hanya untuk didahului oleh pasangan—yang menurutnya—salah pergaulan.

Tiga perempat jam.

Adalah waktu yang cukup untuk membuat pasangan pria di belakangnya bosan dengan satu sama lain. Mereka mulai mencari kesibukan lain dengan memainkan ponsel mereka, mengamati orang-orang yang lain, atau bahkan mengipas-ngipas wajah mereka yang sudah mulai kepanasan.

Tiga perempat jam.

Juga merupakan waktu yang cukup lama untuk membuat si bapak di urutan ketiga meneteskan keringat dingin. Besok dia harus bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat kerja. Dia tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu lagi mengantre untuk taksi yang tidak kunjung datang, tapi dia tahu dia tidak mungkin memaksakan diri menerjang hujan.

Tiga perempat jam.

Yang membuat ponsel si pemuda di ekor barisan kehabisan baterai, dengan seketika membisukan dunia khayalnya yang sempat dikelambu musik.

Tiga perempat jam. Yang sebenarnya tidak terasa selama itu ketika mereka sedang memasak nasi, berkencan, bekerja, atau berkuliah. Namun waktu itu ternyata bertransformasi menjadi begitu lambat, begitu menyiksa, dan begitu mengelabui perspektif mereka akan konstan waktu yang seolah bergerak lebih kejam daripada biasanya. Peluh demi peluh. Rintik demi rintik. Hujan terus mengguyur kota tanpa memberikan mereka kesempatan untuk pulang menggunakan transportasi alternatif.

Mereka masih menunggu.

Maka, tiga perempat jam kemudian, mereka membuka pembicaraan.


***


I will be posting new content every Saturdays, be it writerly stuff, or just things that I like to write about. This includes my own stories, information about my books, and things that interest me. Keep yourself updated by following me on Twitter and Instagram.


promo

Where to find

Goodreads | Gramedia | Bukabuku | Parcelbuku | Grobmart

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s