—a Polaris Musim Dingin after story.
“Jadi, kau memutuskan untuk berhenti?”
Ryuji terkekeh, kemudian terdiam untuk beberapa saat sampai aku memeriksa ponselku untuk memastikan kami masih tersambung. Dia baru kembali bersuara ketika aku memanggil namanya kembali.
“Iya. Lucu juga, ya? Kukira setelah aku mendapatkan pekerjaan, aku akan bekerja di sini untuk waktu yang sangat lama,” ujarnya dengan lesu. “Tapi kau tahu, Akari-san? Beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengan salah seorang teman lamaku, dan setelah mendengar tawarannya bergabung dengan perusahaannya, kurasa aku akan mengiyakannya.”
Aku tersenyum tipis. Setelah mengenal Ryuji sekian lama, aku tahu bahwa tidak sepertiku, dia berani mencoba hal yang baru, termasuk berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja. Di dunia profesional yang sangat menjunjung tinggi kesetiaan karyawan, mungkin yang Ryuji lakukan bukanlah sesuatu yang bijak. Namun ini bukan pertama kalinya Ryuji memutuskan untuk melawan norma yang ada. Terakhir kali dia melakukannya—dengan mengecat rambutnya pirang dan menjadi berandalan—dia bertemu dengan kami di Shirokuma Bistro.
Ryuji terus berbicara. Dia menceritakan betapa perusahaan temannya ini hanya memiliki lima orang karyawan, termasuk dirinya sendiri. Berbeda dengan tempatnya bekerja sekarang, dia tidak akan bekerja di gedung pencakar langit di jantung kota, melainkan di sepetak ruangan kecil di pinggir kota yang disewa oleh temannya dengan harga miring.
Sebagai tambahan, mengenakan kemeja lengan panjang dan sepatu formal di tengah musim panas untuk bekerja bukanlah lagi sebuah keharusan. “Tentu saja begitu! Kami akan membuat video game, Akari-san. Aku yakin suatu saat nanti game yang kami buat akan dimainkan oleh banyak orang. Apa kau pernah lihat peluncuran game baru yang pembicaranya mengenakan kemeja? Hahaha, sepertinya aku harus membeli kaus baru.”
Kuletakkan ponselku, kemudian kupasang telepon dalam mode loudspeaker agar aku bisa mendengar Ryuji sembari bekerja. Dia menelepon lima menit setelah restoran tutup—mungkin supaya tidak menggangguku dan Kyouhei ketika sedang melayani pelanggan, tapi tentu saja ada banyak sekali yang harus kukerjakan setelah restoran tutup selain mematikan lampu dan membalikkan papan “buka” menjadi “tutup”.
Sesekali, aku memberikan “hm” dan “oh” pelan sambil terus membereskan meja, menyapu, dan mengepel lantai restoran. Kyouhei, yang sedang membersihkan area bar, ikut menyimak meski sama sekali tidak berbicara. Aku tahu karena dia beberapa kali mengulas senyum ketika ada cerita Ryuji yang lucu atau yang disampaikannya dengan ekspresif.
Butuh kira-kira dua puluh menit sebelum Ryuji kehabisan topik untuk diceritakan dan terdiam.
Aku dan Kyouhei sendiri akhirnya selesai menutup restoran dan tengah duduk di kursi bar sambil menyeduh dua cangkir teh panas. Tadinya aku sempat ingin mengeluarkan jeruk untuk dijadikan kudapan, tapi kuurungkan begitu melihat jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam.
“Akari-san,” ujar Ryuji tiba-tiba sebelum kembali terdiam cukup lama. “Apa menurutmu… Sensei akan setuju dengan keputusanku?”
Aku tertegun, kemudian langsung memahami maksud dari telepon Ryuji malam ini. Kulirik Kyouhei, yang sedang memijat pelipisnya sambil meraih cangkir teh.
“Memangnya kenapa kau bisa berpikir Sensei tidak akan setuju?” tanyaku.
“Yah… terakhir kita berbincang, yang Sensei tahu inilah impianku: bekerja di Tokyo, diterima oleh masyarakat, berkontribusi untuk sesama. Kau tahu—menjadi orang yang berguna kalau dilihat dari kacamata orang banyak.”
“Memangnya kau tidak akan jadi orang yang berguna kalau kau pindah ke perusahaan video game itu?” sahutku dengan tenang.
“Bukan begitu. Tapi—”
“Ryuji,” aku melanjutkan. “Sensei memang pernah berkata agar kita berjuang mengejar impian kita. Dan benar, pekerjaanmu saat ini pernah menjadi impianmu di masa lalu.” Kuraih cangkir tehku. Masih terlalu panas, batinku, kemudian menaruhnya kembali. “Tapi sama seperti kita, impian pun bisa berubah. Aku yakin Sensei tidak akan kecewa kalau kita memutuskan untuk mengejar sesuatu yang baru.”
“Lagipula, bukankah memiliki impian baru merupakan sesuatu yang hebat?” timpalku kemudian. “Jangankan setuju, kurasa Sensei akan jadi orang pertama yang mengusulkan kita merayakannya dengan pesta besar-besaran.”
Ryuji tertawa. “Kau benar. Aku bisa membayangkan Sensei mengusulkannya. Tidak peduli betapa jauhnya kita terpisah, beliau pasti akan meminta kita semua berkumpul di Shirokuma Bistro dan merayakannya.”
“Tapi itu bukan ide yang buruk,” balasku. “Bagaimana kalau kita lakukan saja? Kurasa Misaki-chan juga tidak akan keberatan. Harusnya ada sedikit jeda sampai hari pertamamu bekerja di tempat yang baru, bukan?”
“Boleh. Harusnya aku bisa kembali ke Otaru sekitar akhir bulan Maret. Nanti aku akan telepon Misaki dan mengajaknya juga. Semoga saja dia tidak sedang ada ekshibisi ini-itu. Dasar si paling sibuk,” ujar Ryuji sambil menggerutu. “Kalian mau dibawakan apa dari Tokyo? Nanti sesampainya di Otaru, kalian akan kutraktir makan. Coba tanyakan pada Kyou-san dia mau makan apa.”
“Kau cukup bawa dirimu saja ke restoran. Biarkan kami yang memasak,” sahut Kyouhei yang sedari tadi ikut mendengarkan.
“Eh, Kyou-san? Sejak kapan kau mendengar—Akari-san, kau menyetel mode loudspeaker, ya?”
Aku tertawa, tapi tidak menjawab. “Kyouhei benar, Ryuji. Kau dan Misaki-chan cukup membawa diri kalian saja, kami sudah senang, kok.”
Kini giliran Ryuji yang tertawa. “Kau tahu, Akari-san. Semakin hari berbicara denganmu semakin membuatku teringat akan Sensei. Kau sadar tidak, kalau bicaramu sudah semakin mirip dengan beliau belakangan ini?”
“Oh ya?” aku tertegun, tapi kemudian menggeleng. “Tapi mungkin saja benar. Bagaimanapun juga, kita semua belajar begitu banyak tentang kehidupan dari Sensei. Kurasa tidak aneh kalau ajaran-ajaran beliau sangat membekas di hati kita.”
Kyouhei tersenyum, kemudian menaruh tangannya di atas tanganku, melingkupinya dengan hangat.
“Nanti aku coba telepon Gen-san juga. Siapa tahu beliau bisa ikut datang,” ujar Kyouhei.
“Wah, sepertinya ini akan jadi perayaan yang besar,” balas Ryuji. “Atau bisa dibilang reuni? Ah, tapi mana bisa dibilang reuni kalau kita hanya terpisah selama beberapa bulan.”
Aku teringat akan perjalananku dan Kyouhei di musim dingin setahun yang lalu, yang berujung di rumah Gen-san. Kami masih bertemu dengan Ryuji dan Misaki beberapa kali setelahnya, dan masih terus bertukar pesan atau telepon. Tapi rasanya sudah lama sekali sejak aku bertemu dengan Gen-san. Entah kenapa aku jadi sedikit rindu pada sosoknya setelah Ryuji mengungkit-ungkit soal reuni.
“Sudah, yang penting kau datang saja. Awas ya, kalau kau mendadak tidak bisa datang,” kata Kyouhei.
“Hei, ada apa, sih? Jangan bilang kalian mau mengejutkanku dengan petasan atau semacamnya. Aku sudah bukan anak-anak.”
“Bukan petasan,” sahutku sambil tertawa. Kutatap cincin yang melingkar di jari manisku. Di dalam restoran yang pencahayaannya temaram, cincin tersebut berkilau lembut dengan cahaya kuning keemasan. “Tapi kami memang memiliki sebuah kejutan untuk dibagikan. Untukmu, untuk Misaki-chan, dan untuk Gen-san.”
Ryuji terdiam. Kemudian, bahkan tanpa bisa melihat ekspresinya, aku tahu dia tersenyum dengan sangat lebar. “Kejutan kalian ini—apa ada hubungannya dengan kalian membuka kembali Shirokuma Bistro dan menjalankan bisnisnya berdua?”
“Memangnya kenapa, Ryuji? Kau mau kembali bekerja di sini?” sahut Kyouhei tidak sabaran.
Aku tersenyum geli melihat interaksi antara Kyouhei dan Ryuji yang seperti saudara laki-laki kandung. Saling mengejek, saling menyambar dengan ketus, tapi aku tahu di lubuk hati masing-masing, mereka sangat peduli terhadap satu sama lain.
Ryuji tertawa kencang. “Tawaran yang menggiurkan. Tapi sayangnya aku sudah mengiyakan tawaran menggiurkan yang satu lagi. Kau ingat, Kyou-san? Aku baru saja menceritakannya ke Akari-san.”
“Berisik,” tukas Kyouhei, tapi dia tersenyum lembut sambil mengucapkannya. “Ceritamu terlalu panjang. Aku tidak mendengarkan semuanya. Yang penting kau datang dulu kemari, nanti kutemani kau kalau mau bercerita.”
Ryuji kembali tertawa. “Tenang saja Kyou-san, Akari-san,” ujarnya kemudian. “Aku pasti akan datang.”
“Sudah, sudah. Aku tidak butuh janjimu. Yang penting kau datang dulu, baru nanti kita bicara lagi,” ujar Kyouhei dengan ketus. Tapi berbeda dengan nada bicaranya, Kyouhei tidak pernah berhenti tersenyum semalaman setelah mengakhiri telepon kami dengan Ryuji. Dari matanya sama sekali tidak terpancar kekesalan, apalagi kebencian. Yang ada hanyalah kilauan dari cahaya lampu restoran, berpijar hangat seperti hari-hari yang pernah kami lalui bersama di sini, di Shirokuma Bistro, sekian tahun yang lalu ketika Sensei masih ada di antara kami.

