Hello everyone!
This excerpt is something I wrote back in 2015, but have been neglecting ever since. Part of the reason was that I didn’t know where to take the story; I didn’t think of the premise or concept when I started writing it. Unfortunately, the gullible practice turned out to be so interesting and I ended up saving the draft on my computer, only to forget all about it later.
I haven’t decided on what should I do with the story. Should I abandon the project, or should I attempt to finish the story? Do let me know what you think about it! 😉
***
Mobil yang membawa kami pergi dari Jakarta hari itu melaju dengan sangat perlahan. Aku masih bisa melihat awan yang berarak di langit biru saat itu, seolah segalanya baru terjadi kemarin. Diriku yang masih berusia sepuluh tahun mengintip dari kaca jendela mobil, melihat gugusan bangunan yang mungkin tidak akan kulihat lagi untuk waktu yang sangat lama.

Ketika keluarga kami memutuskan untuk pindah, aku sama sekali tidak menangis. Bahkan salam perpisahan yang kulakukan di sekolah sama sekali tidak terasa berarti. Segalanya terasa begitu cepat berlalu, seperti layaknya sebuah video yang diputar dengan lebih cepat. Percakapan dengan guruku, perpisahan dengan sanak saudara, juga hadiah-hadiah terakhir dari sekolah-semuanya tidak ada yang benar-benar kuingat.
Yang bisa kuingat adalah bagaimana perasaanku saat pertama kali sampai di bandara. Untuk pertama kalinya dalam hidupku yang saat itu baru sepuluh tahun, aku melihat bentuk pesawat secara langsung. Bukan dari televisi, bukan juga dari buku, melainkan dengan mata kepalaku sendiri. Dan melihat bukti nyata alat yang digunakan manusia untuk menyentuh langit itu merupakan sebuah kejadian yang sangat berkesan.
Aku ingat bagaimana ibuku saat itu terus menerus memeriksa barang bawaan kami. Dia terus mengatakan bahwa kami tidak mungkin merepotkan orang yang kami tinggalkan di Indonesia dengan meminta mengirimkan barang yang tertinggal. Dia bahkan masih memeriksa isi koper kami setelah kami sampai di bandara, seolah ada yang bisa kami lakukan seandainya dia menemukan sesuatu yang lupa kami bawa-pesawat kami akan lepas landas dalam waktu dekat.
Ayahku duduk di samping kananku tanpa suara. Sesekali dia mengarahkan taksi untuk melewati jalan pintas, namun di luar itu, dia tampak sama sekali tidak memperdulikan apa yang ibuku khawatirkan. Matanya menerawang ke luar jendela, sama seperti yang kulakukan. Pikirannya merambat entah kemana—ada jauh lebih banyak perpisahan yang harus dia hadapi, pikirku saat itu.

Ketika kami benar-benar sudah turun dari taksi, kami sekeluarga berjalan memasuki bandara. Aku mengedarkan pandangan sekali lagi ke luar, menghirup sebanyak-banyaknya udara Indonesia selagi aku masih bisa, kemudian memejamkan mata, dan melangkah mengikuti kedua orangtuaku yang sudah mulai memanggil.
Tidak banyak pemikiran yang bisa disusun anak berusia sepuluh tahun ketika dipaksa meninggalkan kampung halamannya. Tanah airnya. Tapi aku ingat aku merasakan sesuatu menekan bagian tengah dadaku. Seolah ada sesuatu yang kutinggalkan ketika aku berangkat ke Jepang pada hari itu—sesuatu yang pastinya cukup berarti bagiku. Mungkin itu adalah masa kanak-kanak. Mungkin juga persahabatan yang sudah kujalin, meskipun aku tidak yakin aku sudah membangun persahabatan yang cukup layak untuk ditangisi atau dipikirkan.
Lebih banyak, aku memikirkan tentang rumah kami. Sebuah bangunan kecil di jantung kota Jakarta yang terhimpit oleh tingginya gedung-gedung pencakar langit. Sebuah peninggalan masa lampau yang tidak pernah kami pugar. Bukan karena tidak mau berinovasi, namun karena semata-mata tidak memiliki uang untuk melakukan itu.
Selagi aku berada di dalam pesawat, aku menghitung jumlah hal yang akan kurindukan dari Indonesia. Sekolahku, misalnya. Juga rumahku. Teman-temanku, atau makanan favoritku. Aku berusaha mengingat-ingat wujud taksi yang mengantarkan kami ke bandara sebelumnya: sebuah sedan biru muda dengan pintu kanan yang baru saja tergores. Pendingin mobil yang rusak. Radio yang memutarkan musik populer.
Di dalam benakku, taksi itu terus berjalan menuju bandara. Bahkan setelah kami ada di pesawat beberapa menit kemudian, aku masih bisa membayangkan taksi itu mengantarkan penumpang berikutnya ke bandara-entah untuk perpisahan yang sementara atau perpisahan yang sebenarnya. Bagi diriku saat itu, tidak ada yang benar-benar penting. Ayah dan ibuku ikut bersamaku, dan itu saja seharusnya sudah cukup.
Yang tidak bisa kujelaskan adalah, betapa saat pesawat akhirnya lepas landas, diam-diam aku menangis.
Pesawat kami jatuh dan tenggelam di laut Cina.
***
I will be posting new content every Saturdays, be it writerly stuff, or just things that I like to write about. This includes my own stories, information about my books, and things that interest me. Keep yourself updated by following me on Twitter and Instagram.
Where to find
Goodreads | Gramedia | Bukabuku | Parcelbuku | Grobmart
These are the moments I wish I could speak Indonesian 😚
LikeLiked by 1 person
😂 Thank you, dear. You should pick up the language sometime. I heard people say it’s not too difficult to master. I can’t attest to its credibility, though, seeing that it’s my mother language and all….
LikeLike
Hehehe, yes! I will give it a try! 🤓 I love learning languages because I feel that, even if translations are great, some part of the message (feelings/essence/mood) can get lost. I’ll let you know how difficult, or not, it turns out to be for me 😁
LikeLike